Pada hari Sabtu, 23 Februari 2019, pk. 9.00, sekitar 75 orang menghadiri pembekalan motivasional bertema: “Membangun Hikmat di Dalam Pelayanan dan Kepemimpinan yang Transformatif di Era Milenial”. Pembekalan dilaksanakan oleh Sie Pelatihan dan Pengkaderan (PEKAD) Gereja Keluarga Kudus Rawamangun. Kegiatan ini dilaksanakan di aula SMP Tarakanita IV. Para peserta merupakan utusan dari berbagai seksi Dewan Paroki, ustusan berbagai kelompok kategorial, dan utusan lingkungan/wilayah; berdasarkan keragaman usia mereka meliputi umat senior, dewasa, maupun orang muda.
Pertemuan ini adalah kegaiatan perdana Sie PEKAD yang bertujuan untuk menganimasi, memanggil, dan meneguhkan umat agar bersedia menanggapi panggilan keterlibatan dalam penyelenggaraan tata kelola Gereja Keluarga Kudus pada masa ini dan yang akan datang. Pada kesempatan ini Sie PEKAD menghadirkan dua nara sumber yakni Rm. Ignatius Fadjar Himawan MSF dan Sdr Octavian Elang Diawan. Rm. Fadjar Himawan – yang merupakan pastor rekan di Gereja Keluarga Kudus Rawamangun – memimpin sesi pertama dengan bahasan seputar spiritualitas pelayanan berhikmat. Adapun sesi kedua dipimpin oleh Sdr. Octavian Elang Diawan yang mengangkat pokok bahasan Kecakapan Kepemimpinan Transformasional yang ber-Hikmat.
Pada bagian pertama, Rm. Fadjar Himawan mengajak para peserta untuk memahami makna hikmat dan melakukan evaluasi diri secara tertulis terhadap kualitas hikmat yang ada dalam diri setiap individu. Menurut misionaris yang pernah berkarya selama 12 tahun di Texas ini, hikmat merupakan sifat kodrati manusia sejak manuisa dilahirkan. Kebijaksanaan diperoleh dengan cara belajar dari orang lain dan mengolah pengalaman hidup sendiri. Orang bijaksana adalah orang yang mencintai kebenaran, dan para pecinta kebenaran tak pernah merasa diri paling benar. Pribadi bijaksana menerima diri apa adanya dan hidup pada masa sekarang – tidak terjebak dalam kejayaan masa lalu.
Selain mengupas kebijaksanaan sebgai sebuah konsep diri, Rm. Fadjar juga menyerukan impelementasi aktif tindakan-tindakan bermakna seperti yang selama ini dianjurkan oleh Keuskupan Agung Jakarta, seperti: Kunjungan pada tetangga yang berduka, malaksanakan tata krama sosial, menghemat penggunaan energi dan air, menjaga kebersihan lingkungan, dan segala perilaku yang mencerminkan sikap ‘Kita Berhikmat Bangsa Bermartabat’.
Dengan mengutip ayat-ayat indah dalam Kitab Amsal dan Mazmur serta beberapa kitab lain dalam Perjanjian Lama yang termasuk sebagai sastra kebijaksanaan, Rm. Fadjar juga mengajak umat untuk mengenal dasar alkitabiah tentang keutamaan hikmat kebijaksanaan. Sebab, pada prinsipnya Gereja dibangun dan digerakkan atas kekuatan hikmat kebijaksanaan yang tak lain adalah kehadiran Roh Allah sendiri dalam diri setiap umatnya.
Di akhir pemamaparanya Rm. Fadjar mengajak hadirin untuk membangun semangat pelayanan berdasarkan spiritulaitas keceriaan, pengharapan, positif, dan optimis. Ajakan ini mengacu pada keadaan riil bagaimana Gereja-Gereja di Barat mengalami kemunduran karena menghidupi spiritualitas yang berlawanan dengan yang disebutkan di atas, yakni: spiritualitas kemurungan, menekankan dosa dan silih dosa. Dengan menghidupi spiritualitas alternatif yang serba ceria dan positif diharapkan Gereja akan tumbuh berkembang alih-alih mengalami kemunduruan. Memang benar yang dikatakan dalam Amsal 17: 22 bahwa : Hati yang gembira adalah obat yang manjur. Bila umat Gereja Keluarga Kudus mengembangkan spiritualitas ini tentu akan menjadikan Gereja kita sungguh-sungguh menjadi hati Allah di bumi yang serba menghidupkan dan melegakan semua pihak.
Adapun pada sesi kedua, Sdr. Octavian Elang Diawan lebih pada membuka kesadaran akan panggilan kepemimpinan Gereja. Sdr. Elang – yang merupakan trainer utusan Tim Karya Parokial, Keuskupan Agung Jakarta – menyajikan fakta dinamika Gereja Keuskupan Agung Jakarta yang hadir untuk Kota Jakarta dan sekitarnya. Seperti diketahui Jakarta adalah Indonesia mini dengan dinamika tinggi pada seluruh ranah kehidupan: ideologi, sosial politik, budaya, dan ekonomi. Gereja Keluarga Kudus sebagai bagian Gereja Keuskupan Agung Jakarta hadir sebagai inkarnasi Yesus Kristus bagi masyarakat Jakarta dengan kondisi dinamikanya tersebut.
Dengan mengutip kata-kata seorang guru kepemimpinan kristiani terkenal bernama DR. John Maxwell, Sdr. Elang mengafirmasi peserta secara berulang: “Untuk membangkitkan suatu bangsa, Tuhan memanggil pemimpin.” Kata-kata berdaya ini merupakan gambaran cara Yahweh memanggil Abraham, Musa, Gideon, Joshaphat, dan tokoh lain dalam upaya membawa umat Israel menemukan tanahnya sendiri yang dijanjikan-Nya. Rupanya umat Israel tidak serta merta begitu saja menemukan tanah terjanji itu, namun mereka juga harus melewati masa-masa sulit dan situasi yang pesimistis. Di sinilah Tuhan memanggil seorang dari umat-Nya sebagai pemimpin untuk menegakkan harapan mereka. Cara Tuhan ini berlangsung secara konsisten hingga jaman sekarang. Dalam koteks Gereja masa kini, maka Tuhan pun memanggil umat untuk mau menjadi pemimpin guna membawa Gereja yang berziarah di bumi Jakarta menuju tanah terjanji, yakni kehidupan kekal dalam kerahmiman Allah yang mempesona. Tuhan memanggil umat untuk terlibat dalam reksa pastoral evangelisasi, baik sebagai pengurus lingkungan, pengurus seksi pada Dewan Paroki, atau pengurus kategorial.
Pada kesempatan ini sebuah inspirasi bijak penuh hikmat diceritakan, yakni tentang seorang Yesuit muda dari Negeri Belanda yang memulai tugas menabur benih kerajaan Allah pertama di tanah Jawa pada abad lalu. Sebelum berangkat ke Hindia Belanda Yesuit muda ini dengan kesederhanaannya dan kepolosannya mengakui bahwa dirinya bukan orang yang cukup cerdas untuk memulai sebuah misi di tanah yang sangat asing dan jauh dari Eropa – tanah yang belum pernah dilihat dan diinjaknya. Tetapi pemuda ini percaya sepenuh hati bahwa Allah sendiri yang akan memimpin perjalanan tugasnya. Ia memahami bahwa Allah-lah yang akan melakukan misi itu, bukan dirinya. Lalu karya misi pun dilakukan dengan menghadapi berbagai rintangan yang tidak mudah hingga tahun-tahun berlalu.
Namun apa yang terjadi kini? Banyak orang mengakui bahwa Jawa Tengah dan Jogjakarta merupakan salah satu wilayah Indonesia yang sangat subur ke-Katolikannya. Sebagai contoh: Mgr. Soegijapranata, Kardinal Julius Darmaatmajda, Bapak Ig. Kasimo, Mgr. Ignatius Suharyo adalah putera-putera terbaik dari wilayah ini. Pembibitan misionaris MSF juga berada di daerah ini. Semua ini terjadi karena ada orang biasa-bisa saja yang menaruh kepercayaannya pada Allah yang luar biasa, orang muda ini bernama Rm. Franciscus Georgius Josephus Van Lith. Inilah sang pembuka, inilah sang pemimpin. Inilah role model kepemimpinan Gereja yang tetap relevan di era milenial ini.
Secara umum Sdr. Elang membawa peserta dalam suasana belajar andragogi yang riang termasuk menggunakan metoda simulasi kepemimpinan guna memudahkan proses penyadaran dan pemahaman panggilan kepemimpinan. Dalam proses tersebut para peserta melakukan permainan jemput bola dan group building yang meriah dengan tujuan utama internalisasi sikap ‘percaya pada Allah’ seperti yang ditunjukkan Rm. Van Lith.
Salah satu peserta bernama Ibu Erlani berkomentar: “Saya senang dengan sekali dengan pertemuan ini. Ilmunya akan saya bawa untuk dibagikan pada warga yang lain.”
Acara animasi ini berakhir pada pk. 13.00 dan ditutup dengan makan siang bersama.
Mari kita bangkitkan roh hikmat kepemimpinan umat untuk Gereja yang bermartabat.
Salam ber-hikmat! ED, Oleh Sie PEKAD – Sie KOMSOS